www.rumaysho.com
"Sial banget hari ini, kami selalu kalah jika bertanding pas hari Rabu?", ujar seseorang ketika kalah bertanding futsal.
"Sial banget hari ini, kami selalu kalah jika bertanding pas hari Rabu?", ujar seseorang ketika kalah bertanding futsal.
"Bulan Suro, bulan penuh
petaka!", kata seseorang yang sering menaruh sial pada bulan Suro
ketika
ia dapati berbagai musibah.
ia dapati berbagai musibah.
Bolehkah mencela waktu seperti itu?
Perlu kita ketahui bersama bahwa
mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa
yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela
perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا
الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ
بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
”Dan mereka berkata:
"Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan
kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)",
dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak
lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi,
mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan
orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits
disebutkan mengenai larangan mencela waktu.
Dalam shohih Muslim,
dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di
antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ
”Allah ’Azza wa Jalla
berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku
adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.”
(HR. Muslim no. 6000)
Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ
أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ
وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا
”Allah ’Azza wa Jalla
berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ’Ya khoybah dahr’
[ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan
’Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah
(pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan
menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh
Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela
masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian,
kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka
mengucapkan ’Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan
celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Setelah dikuatkan dengan berbagai
dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang.
Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur
siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan
ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia
mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Perlu diketahui bahwa mencela waktu
bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus
dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka pelakunya dari Islam).
Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah
dalam Al Qoulul Mufid ’ala Kitabit Tauhid berikut.
Mencela waktu itu terbagi
menjadi tiga macam:
Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar
berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya
ucapan, ”Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya.
Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini
juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ’alaihis salam,
هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
”Ini adalah hari yang amat sulit."
(QS. Hud [11] : 77)
Kedua; jika menganggap bahwa waktulah
pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini
bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa
ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada
selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir.
Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga
kafir.
Ketiga; jika mencela waktu karena waktu
adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan
tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh
(alias ’dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela
waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di
waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu
bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran
karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung.
–Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-
Maka perhatikanlah saudaraku,
mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau
bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu
dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram,
bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan
semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela.
Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan
satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi
kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ
وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ
الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17)
”Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para
malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang
malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang
lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)
Semoga Allah memberi taufik untuk
menjaga lisan ini dari murka-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar