dakwatuna.com - Umur bumi sudah sangat tua, banyak sudah cerita yang tercipta, dan zaman
menjadi saksi bisu perputaran waktu. Tapi kita tidak layak untuk membisu, kita
harus bisa mengambil hikmah dari semua kejadian yang telah terjadi. Ada kisah
para anbiya, ada kisah para shohabah yang penuh mahabbah, ada kisah tentang
kaum yang Allah selamatkan, ada pula kisah tentang kaum yang Allah binasakan.
Semua kisah itu bisa kita temukan di lembaran-lembaran Al-Qur’an dan As sunnah.
Dan pagi hari ini Allah telah menggerakkan bapak saya
untuk bercerita sebuah kisah yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As sunnah.
Karena yang bapak ceritakan adalah kisah nyata yang terjadi di zaman yang penuh
fitnah. Seperti sekarang wahai ikhwah… L
Entah dari mana saya harus menceritakannya. Karena saya
memang bukan penulis ulung. Untuk berbicara pun biasanya belepotan. Namun saya
tidak bersedih. Karena kepandaian berpidato, kefasihan lidah, dan kelancaran
berbicara bukanlah syarat mutlak dalam berdakwah di jalan Allah. Kalimurrahman,
Musa AS ialah seorang nabi yang merasakan kakunya lidah dalam memberikan
penjelasan, dan beliau memohon kepada Allah dengan ucapannya; wahlul ‘uqdatan
min lisaaniy. Jadi, yang terpenting, gairah tebar dakwah dan hikmah selalu
merekah.
Oke, kembali ke topik.
Bermula saat tadi pagi saya sarapan berdua dengan
bapak. Momen santai seperti ini memang menjadi waktu paling pas, enak, dan
cocok untuk ‘transfer’. Transfer kumpulan huruf, transfer kumpulan kata,
transfer kumpulan kalimat, dan jadilah seporsi wejangan yang nikmat…
Tapi, dalam kesempatan ini saya urungkan niat untuk
bercerita secara detail. Mungkin, intisarinya saja.
Tadi bapak menceritakan seorang wanita yang bapak
kenal dan saya juga mengenalnya. Wanita itu berhijab. Bajunya longgar dan
jilbabnya lebar. Kostum itu ia kenakan sudah lama, sejak duduk di bangku
kuliah. Sekarang umurnya sudah kepala tiga. Dan wanita itu juga termasuk
aktivis. Sampai sekarang pun masih aktif duduk di halaqah. Wanita itu sudah
menikah, dengan seorang pria. Sudah lama. Mungkin kurang lebih 8 tahun silam.
Nah, saya ingin bercerita tentang malam-malam pertama pasutri tersebut.
Singkat cerita, kurang lebih 1 minggu setelah menikah.
Si suami komplain sam` istrinya (wanita berhijab yang diceritakan bapak).
Suaminya komplain, karena menemukan sesuatu yang harusnya tidak ia temukan.
(apa ya sesuatu itu???).
Namun si wanita tidak mau menjawab, ia hanya menyuruh
suaminya untuk bertanya pada kakak iparnya (suami kakak perempuan si wanita).
Dan meluncurlah si suami ke rumah kakak ipar istrinya. Sesampainya di sana, ia
langsung menceritakan tentang sesuatu yang harusnya tidak ia temukan di
malam-malam pertama pernikahan.
Si suami bercerita bahwa ia dapati istrinya sudah
tidak perawan lagi! Kewanitaannya bersih tanpa selaput.
Maka sang kakak ipar menjelaskan. Ternyata, dahulu
ketika si wanita masih duduk di bangku SMA, ia mengidap penyakit keputihan.
Sudah parah. Dan kakak iparnya itulah yang mengantar untuk berobat. Dokter
pertama berkata bahwa penyakit keputihan separah ini tidak mungkin menimpa
kecuali kepada wanita yang sudah beberapa kali melakukan hubungan seksual.
Untuk yang sudah bersuami, minimal 3 bulan setelah menikah. Ketika itu, si
wanita tidak puas dengan jawaban sang dokter dan minta berobat ke dokter lain.
Sampai 3 dokter dikunjungi, semua mengutarakan jawaban yang tidak jauh berbeda…
Ternyata, pesan yang ingin bapak sampaikan adalah;
“wanita shalihah otomatis akan berbaju longgar dan berjilbab lebar. Karena itu
salah satu cirinya. Tapi hati-hati, jangan sampai tertipu oleh baju longgar dan
jilbab lebar, karena itu bukan jaminan… meskipun ianya sudah bertaubat, tapi
kamu inginnya yang ‘fresh’ kan?”
Sampai di sini mungkin ada yang nyeletuk, “ah
santai aja, kalau kita baik pasti dapetnya yang baik juga kok. Kan ada tuh di
Al-Qur’an. Surat an-nur ayat 26, Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki
yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula).”
AnNur ayat 26
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan
dan rizki yang mulia (surga).”
Berangkat dari pemahaman di atas, tentu saja kita
bertanya-tanya apakah yang dimaksud baij di sini? Atau keji? Apakah kita dapat
menentukan sesuatu itu baik atau tidak baik? Kalau kita cermati, ayat di atas
merupakan satu paket ayat yang bersambung ,tidak hanya putus pada kalimat
“untuk wanita yang baik” tetapi masih berlanjut dengan bahasan tuduhan , juga
ampunan. Artinya ayat ini sebenarnya diturunkan dalam konteks tertentu. Coba
kita lihat konteks ayat ini turun (asbabun nuzul);
“Ayat ini diturunkan untuk menunjukkan kesucian
‘Aisyah RA dan Shafwan bin al-Mu’attal RA dari segala tuduhan yang ditujukan
kepada mereka. Pernah suatu ketika dalam suatu perjalanan kembali dari
ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq, ‘Aisyah terpisah tanpa sengaja dari
rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian diantarkan pulang
oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada suatu keperluan.
Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan menyusul rombongan Rasulullah
SAW dan para sahabat, akan tetapi rombongan tidak tersusul dan akhirnya mereka
sampai di Madinah. Peristiwa ini akhirnya menjadi fitnah di kalangan umat
muslim kala itu karena terhasut oleh isu dari golongan Yahudi dan munafik jika
telah terjadi apa-apa antara ‘Aisyah dan Shafwan.
Masalah menjadi sangat pelik karena sempat terjadi
perpecahan di antara kaum muslimin yang pro dan kontra atas isu tersebut. Sikap
Nabi juga berubah terhadap ‘Aisyah, beliau menyuruh ‘Aisyah untuk segera
bertaubat. Sementara ‘Aisyah tidak mau bertaubat karena tidak pernah melakukan
dosa yang dituduhkan kepadanya, ia hanya menangis dan berdoa kepada Allah agar
menunjukkan yang sebenarnya terjadi. Kemudian Allah menurunkan ayat ini yang
juga satu paket annur 11-26.”
Penjelasan An Nur 26 menurut para ulama
Jika dilihat dari konteks ayat ini, ada dua penafsiran
para ulama terhadap ayat ini yaitu tentang arti kata “wanita yang baik” dan
juga “ucapan yang baik” Sehingga dapat juga diartikan seperti ini;
“Perkara-perkara (ucapan) yang kotor adalah dari
orang-orang yang kotor, dan orang-orang yang kotor adalah untuk perkara-perkara
yang kotor. Sedang perkara (ucapan) yang baik adalah dari orang baik-baik, dan
orang baik-baik menimbulkan perkara yang baik pula. Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Kata khabiitsat biasa dipakai untuk makna ucapan yang
kotor (keji), juga kata thayyibaat dalam Quran diartikan sebagai kalimat yang
baik.
Hakam Ibnu Utaibah yang menceritakan, bahwa ketika
orang-orang mempergunjingkan perihal Aisyah RA Rasulullah saw menyuruh
seseorang mendatangi Siti Aisyah RA Utusan itu mengatakan, “Hai Aisyah! Apakah
yang sedang dibicarakan oleh orang-orang itu?” Aisyah RA menjawab, “Aku tidak
akan mengemukakan suatu alasan pun hingga turun alasanku dari langit”. Maka
Allah menurunkan firman-Nya sebanyak lima belas ayat di dalam surah An Nur
mengenai diri Siti Aisyah RA. Selanjutnya Hakam Ibnu Utaiban membacakannya
hingga sampai dengan firman-Nya, “Ucapan-ucapan yang keji adalah dari
orang-orang yang keji…” (Q.S. An Nur, 26). Hadits ini berpredikat Mursal dan
sanadnya shahih.
Ayat 26 inilah penutup dari ayat wahyu yang
membersihkan istri Nabi, Aisyah dari tuduhan keji itu. Di dalam ayat ini
diberikan pedoman hidup bagi setiap orang yang beriman. Tuduhan keji adalah
perbuatan yang amat keji hanya akan timbul daripada orang yang keji pula.
Memang orang-orang yang kotorlah yang menimbulkan perbuatan kotor. Adapun
ucapan-ucapan yang baik adalah keluar dari orang-orang yang baik pula, dan
memanglah orang baik yang sanggup menciptakan perkara baik. Orang kotor tidak
menghasilkan yang bersih, dan orang baik tidaklah akan menghasilkan yang kotor,
dan ini berlaku secara umum
Di akhir ayat 26 Tuhan menutup perkara tuduhan ini
dengan ucapan bersih dari yang dituduhkan yaitu bahwa sekalian orang yang
difitnah itu adalah bersih belaka dari segala tuduhan, mereka tidak bersalah
sama sekali. Maka makna ayat di atas juga sangat tepat bahwa orang yang baik
tidak akan menyebarkan fitnah, fitnah hanya keluar dari orang–orang yang
berhati dengki, kotor, tidak bersih. Orang yang baik, dia akan tetap bersih,
karena kebersihan hatinya.
Yang Baik Hanya Untuk yang baik?
Pembahasan kedua yaitu tentang maksud ayat di atas
yaitu “wanita yang baik” dan “wanita yang keji”. Dalam hal ini terjemahan Depag
menggunakan arti wanita yang baik dan pemahaman ini berangkat dari para ulama
yang menyatakan bahwa Aisyah merupakan wanita yang baik-baik, karena konteks
ayat tersebut turun satu paket, yaitu ayat 11-26 dengan ayat sebelumnya tentang
seseorang menuduh wanita yang baik-baik berzina. Maka jika diartikan begitu
sesuai dengan pertanyaan di atas
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Ayat ini bersifat umum, bahwa wanita-wanita yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji, begitu juga sebaliknya. Namun yang perlu
dipahami adalah ayat ini sebuah kondisi atau memang anjuran, sebab para ulama
banyak mengemukakan pendapat tentang hal ini. Syaikh Muhammad Mutawalli
as-Sya’rawi, ulama Mesir pernah berkata: ada dua macam kalam (kalimat sempurna)
dalam bahasa Arab. Pertama; Kalam yang mengabarkan kondisi atau suasana yang
ada.
Kedua Kalam yang bermaksud ingin menciptakan kondisi
dan suasana. Kalam seperti ini bisa ditemukan dalam Quran. Seperti firman Allah
QS. Ali-Imran: 97: Barang siapa yang memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia. Ayat itu kalau dipahami, bahwa Allah sedang mengabarkan kondisi
dan suasana kota Mekah sesuai kenyataan yang ada, maka tentu tidak akan terjadi
hal-hal yang bertolak belakang dengan kondisi itu. Akan tetapi, kalau ayat itu
dipahami, sebagai bentuk pengkondisian suasana, maka Allah sesungguhnya tengah
menyuruh manusia, untuk menciptakan kondisi aman di kota Mekah. Kalaupun
kenyataan banyak terjadi, bahwa kota Mekah kadang tidak aman, maka hal itu
artinya, manusia tidak mengejewantahkan perintah Allah.
Pemahaman yang sama juga bisa ditelaah pada ayat ini;
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). (QS. An-Nur: 26). Pada kenyataan yang terjadi,
ternyata, ada laki-laki yang baik mendapat istri yang keji, begitu pula
sebaliknya. Maka memahami ayat tersebut sebagai sebuah perintah, untuk
menciptakan kondisi yang baik-baik untuk yang baik-baik, adalah sebuah
keharusan. Kalau tidak, maka kondisi terbalik malah yang akan terjadi.
Kalau kita bandingkan dengan Annur ayat 3 yang mana
kalimat digunakan untuk umum
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik” (QS. An Nur ayat 3)
Di ayat ini lebih tegas mengandung “unsur perintah”
untuk mencari pasangan yang sepadan. Sehingga ayat 26 bisa dimengerti sebagai
sebuah motivasi atau anjuran untuk mengondisikan dan bukan sebagai ketetapan
bahwa yang baik “otomatis” akan mendapatkan pasangan yang baik. Hal ini tentu
memerlukan usaha untuk memperbaiki diri lebih baik.
Ayat tersebut bukanlah merupakan janji Allah kepada
manusia yang baik akan ditakdirkan dengan pasangan yang baik. Sebaliknya ayat
tersebut merupakan peringatan agar umat Islam memilih manusia yang baik untuk
dijadikan pasangan hidup. Oleh karena itu nabi
bersabda tentang anjuran memilih pasangan yaitu lazimnya dengan 4 pertimbangan,
dan terserah yang mana saja, namun yang agamanya baik tentu sangat dianjurkan.
Wallahua’lam.
Oleh: Oktarizal Rais
Artikel yang bagus dan menarik. kunjungi juga http://ceramahimtaqsmp.blogspot.co.id/
BalasHapus